Sabtu, 27 Agustus 2016

Putraku, Negarawan Muslim

Di antara situasi berikut, mana yang paling sering kita alami?

1. Saat anak selesai bermain dan kita memintanya membereskan mainan, ia berkata "Aku masih mau main ini, kok."
2. Saat tiba waktunya mandi, anak justru mengambil piring dan minta makan
3. Saat tiba waktunya makan, anak justru merengek minta camilan
4. Saat ke toko untuk membeli sepatu, anak menenteng mainan dan tidak ingin melepaskannya kecuali kita mau membelikannya
5. Saat kita sedang berada pada suatu acara, anak kita menangis keras mengajak pulang tanpa bisa ditawar

Jika kita pernah mengalami semuanya dengan frekuensi setara, mari bersyukur dan ucapkan pada diri sendiri, "Selamat! Kelak anakmu akan  menjadi negarawan tangguh!"

Betapa tidak? Poin-poin di atas menunjukkan bahwa anak kita adalah negosiator handal. Teguh memegang keinginan, dan pantang menyerah. Konsisten dengan prinsip dan selalu mencari cara agar 'menang'. Bahkan beberapa kali bisa bersikap manipulatif dan memegang kendali.

Alhamdulillaah 'alaa kulli haal.
Semua perilaku tadi akan menghasilkan pribadi yang arogan jika kita sebagai orang tua tidak mengarahkannya kepada perilaku yang beradab. Sebaliknya, jika kita membersamai anak-anak dan mengarahkan perilaku gigihnya secara positif sesuai adab dan akhlaq yang baik, insyaaAllah kelak mereka akan menjadi negarawan muslim yang berguna bagi agamanya. Aamiin.
Jadi, apa saja yang perlu kita lakukan untuk mengarahkan anak yang jago negosiasi menjadi anak berakhlaq baik?

1. Niatkan ikhlas
Anak adalah amanah dari Allah. Maka sudah sepantasnya jika kita meminta petunjukNya dalam mendidik anak-anak. Dan memohon pertolongan padaNya untuk setiap kesulitan yang kita temui

2. Bicarakan dengan Anak
Meski balita belum memiliki nalar yang sempurna, yakinlah bahwa ia sangat cerdas untuk bisa memahami harapan kita. Biasakanlah menyampaikan maksud tujuan kita ketika meminta anak melakukan sesuatu. Hal ini akan mendorong anak untuk berpikir dan memutuskan.

3. Beri Waktu untuk Berpindah (Transisi)
Balita memiliki rentang fokus yang singkat. Namun, ketika ia sedang fokus pada hal yang dikerjakannya, ia akan menutup diri dari dunia di luar dirinya. Memberitahukannya batasan waktu, akan membuatnya menentukan kapan ia akan berpindah dari aktivitas satu ke aktivitas lain. Hal ini akan membuatnya beralih kegiatan secara natural tanpa merasa dipaksa dan diburu-buru.

Misalnya, "Kakak, Umi hitung sampai 5 Kakak sudah ke kamar mandi ya..!"
akan lebih berfungsi daripada mengatakan, "Kakak, ayo mandi sekarang. Sudah sore."

"Sekarang jam setengah enam. Kakak boleh bermain sepuluh menit lagi, dan pulang sebelum adzan maghrib." akan membuatnya lebih mudah diajak pulang daripada berkata, "Kakak... ayo pulang, sebentar lagi Maghrib."

4. Konsisten
Jika kita sudah mengatakan "Kakak boleh makan camilan setelah makan nasi." maka kita harus memegang teguh dan melaksanakan apa yang kita katakan. Kuatkan hati, jangan goyah ketika anak mulai merengek, menangis, atau bahkan tantrum. Konsisten terasa sulit dikerjakan saat ini, namun yakinlah bahwa manfaatnya di masa mendatang sangat berguna, baik bagi anak ataupun bagi kita orangtuanya.

5. Apresiasi setiap Perbuatan Positif
"Alhamdulillaah, Kakak bisa bekerja sama. Terima kasih ya Kak, sudah pulang tepat waktu. Kakak jadi bisa persiapan shalat Maghrib bersama abi."
Perlu dicatat, untuk mengapresiasi perbuatannya secara spesifik, bukan sekedar mengatakan "Kamu hebat!" Atau "Kamu pintar!"

6. Rayakan bersama
Ketika anak mau bersabar untuk tidak merengek selama kita mengikuti suatu acara, dan kita bisa melalui masa menegangkan selama negosiasi dengan anak, belilah es krim dalam perjalanan pulang. Dan katakan pada anak, "Jazaakumullah khairan ya Kak, sudah bersikap sopan. Semoga selanjutnya Kakak bisa selalu bersikap sopan. Ini hadiah untuk kakak."

Sabtu, 20 Agustus 2016

Manusia memang seperti itu. Sempurna dengan segala ketidaksempurnaannya.
Ada yang sulit meminta maaf meski melakukan kesalahan besar. Tak bisa karena tak biasa. Atau karena memang tak merasa salah.
Di sisi lain, ada yang mudah meminta maaf. Seolah minta maaf ibarat sendawa setiap kenyang setelah makan. Kurang penjiwaan, sehingga kesalahan terus berulang.

Demikian halnya kita. Saya.
Saya tumbuh besar dalam keluarga yang mahal apresiasi. Ungkapan 'maaf' atau 'terima kasih' jarang terlantun.
Di kemudian hari, terutama setelah menikah, saya menyadari bahwa kedua ungkapan tadi begitu bermakna bagi saya terutama. Permintaan 'maaf' menutup luka, dan 'terima kasih' memupuk cinta. MaasyaaAllaah...

Tantangan lebih besar hadir ketika saya menjadi ibu. Ketika saya menyadari, bahwa ada waktu di mana kata 'maaf' dan 'terima kasih' menjadi rumit.
Mengapa rumit? Karena orang tua adalah teladan bagi anak. Dengan mengucapkan 'maaf' dan 'terima kasih' sembari menyampaikan alasan mengapa kedua kata itu diucapkan, anak akan memahami kegunaan kedua kata tersebut dan mengaplikasikannya di saat ia membutuhkan. 
Mengapa masih rumit? Karena anak punya kehendak sendiri. Di mana ia merasa tidak berbuat salah sehingga merasa tidak perlu meminta maaf. Atau merasa tak mendapat 'profit' yang membuatnya perlu berterima kasih. Anak memiliki cara pandang yang berbeda dengan orang tua.
Dan mengapa terlalu rumit? Karena orang tua tidak sempurna sebagaimana halnya anak-anak mereka. Ketika orang tua kemudian menuntut anaknya meminta maaf atau berterima kasih secara paksa, anak akan merasa tidak nyaman. Dan membuat kedua ungkapan tersebut dihindarinya. Padahal bisa jadi, orang tua menuntut demikian hanya lantaran malu dengan omongan orang. Malu, jika dianggap tidak mampu mengajarkan nilai moral pada anak. Malu, jika tetangga mengatakan hal-hal negatif tentang anak. Finalnya, anak-anak semakin menjauhi kita, dan bertindak bertolak belakang dengan haraoan kita.

Yah...itulah ketidaksempurnaan manusia yang memanusiakannya. Di sinilah pentingnya belajar berkesinambungan sebagai orang tua. Karena, meski setiap orang tua pernah mengalami masa di mana ia menjadi anak, namun kita tak bisa lantas memenuhi semua kebutuhan dan keinginan anak. Ada tuntutan wewenang dan kewajiban sebagai orang tua yang membuat kita menetapkan aturan-aturan dan membangun batasan-batasan.
Orang tua perlu selalu belajar agar dapat mengarahkan anak menjadi pribadi idaman. Pribadi yang memenuhi harapan sebagai qurrota a'yun. Yang membantu kita meraih keridhaan Allah.

Manusia hanya wajib berusaha memperbaiki diri. Dan berdoa, agar Allah Menjadikan diri kita lebih baik.


Happy imperfect parent!!

Imperfect Makes Human Human

Manusia memang seperti itu. Sempurna dengan segala ketidaksempurnaannya.
Ada yang sulit meminta maaf meski melakukan kesalahan besar. Tak bisa karena tak biasa. Atau karena memang tak merasa salah.
Di sisi lain, ada yang mudah meminta maaf. Seolah minta maaf ibarat sendawa setiap kenyang setelah makan. Kurang penjiwaan, sehingga kesalahan terus berulang.

Demikian halnya kita. Saya.
Saya tumbuh besar dalam keluarga yang mahal apresiasi. Ungkapan 'maaf' atau 'terima kasih' jarang terlantun. Di kemudian hari, terutama setelah menikah, saya menyadari bahwa kedua ungkapan tadi begitu bermakna bagi saya terutama. Permintaan 'maaf' menutup luka, dan 'terima kasih' memupuk cinta. MaasyaaAllaah...

Tantangan lebih besar hadir ketika saya menjadi ibu. Ketika saya menyadari, bahwa ada waktu di mana kata 'maaf' dan 'terima kasih' menjadi rumit.

Mengapa rumit? Karena orang tua adalah teladan bagi anak. Dengan mengucapkan 'maaf' dan 'terima kasih' sembari menyampaikan alasan mengapa kedua kata itu diucapkan, anak akan memahami kegunaan kedua kata tersebut dan mengaplikasikannya di saat ia membutuhkan. 
Mengapa masih rumit? Karena anak punya kehendak sendiri. Di mana ia merasa tidak berbuat salah sehingga merasa tidak perlu meminta maaf. Atau merasa tak mendapat 'profit' yang membuatnya perlu berterima kasih. Anak memiliki cara pandang yang berbeda dengan orang tua.
Dan mengapa terlalu rumit? Karena orang tua tidak sempurna sebagaimana halnya anak-anak mereka. Ketika orang tua kemudian menuntut anaknya meminta maaf atau berterima kasih secara paksa, anak akan merasa tidak nyaman. Dan membuat kedua ungkapan tersebut dihindarinya. Padahal bisa jadi, orang tua menuntut demikian hanya lantaran malu dengan omongan orang. Malu, jika dianggap tidak mampu mengajarkan nilai moral pada anak. Malu, jika tetangga mengatakan hal-hal negatif tentang anak. 

Yah...itulah ketidaksempurnaan manusia yang memanusiakannya. Itulah orang tua, yang meskipun pernah mengalami masa menjadi anak, tapi tidak lantas membuat kita memahami keinginan dan kebutuhan anak. Sekalipun kita mengerti, ada tuntutan wewenang dan kewajiban sebagai orang dewasa yang lantas membuat kita menetapkan aturan-aturan yang mungkin tidak disukai anak.
Dan di sinilah letak pentingnya belajar berkesinambungan sebagai orang tua. Agar kita tahu bagaimana mengarahkan anak. Membuat anak bersikap sesuai harapan, meski belum memahami esensinya. Agar kita tahu bagaimana segala sesuatu bekerja. Bukan dengn memaksa, namun mengarahkan mengikuti kebutuhan perkembangannya.

Bagaimanpun, manusia hanya wajib berusaha memperbaiki diri. Dan berdoa, agar Allah Menjadikan diri kita lebih baik.


Happy imperfect parent!!

Jumat, 19 Agustus 2016

Mempelajari Cara Anak Belajar

Innaalillaahi... betapa lemah manusia itu. Betapa ia mudah tergantung terkait apa yang tidak ia miliki.
Setelah introspeksi, saya menyadari bahwa stimulus yang saya berikan pada si Kakak setelah kepindahan kami jauh berkurang dibandingkan ketika kami tinggal di rumah lama. Setelah dirunut lagi, penyebabnya adalah karena saya memiliki penyakit ketergantungan! Subhaanalláh...
Ketergantungan apakah itu? Tak lain dan tak bukan adalah ketergantungan _browsing_. Selancar di dunia maya. Yap! Saya memang banyak mencari ide belajar maupun berkreasi dari internet. Dan saya tidak menyangka bahwa ketergantungan saya begitu besar hingga saya tidak bisa melakukan apapun tanpa 'googling'.
Begitu pindah rumah, yang letaknya lebih pinggiran dibanding rumah lama kami, salah satu aspek negatif (atau justru positif)nya adalah minimnya sinyal internet. Terlalu minim sampai-sampai pesan whatsapp pun seringkali gagal terkirim. Apalagi browsing dan download. Duh! Gigit jari, saya.
Ketika kemudian saya tidak bisa lancar berselancar di dunia maya, rasa-rasanya kepercayaan diri saya pecah jadi debu. Sebagian tertiup angin, bagian yang lain hanyut oleh air. Saya jadi tidak pede bahkan untuk sekedar memberi aktivitas sederhana untuk kakak belajar.

Duh! Kalau sudah ketemu masalahnya seperti ini, harus segera cari dan temukan solusi nih. Inti masalahnya adalah: berhenti bergantung pada internet. Karena alam adalah sarana belajar. Karena buku adalah jendela ilmu. Karena engkauibuadalah role model yang menjadi cetak biru bagi anak-anakmu.
Alhamdulillaah 'alaa kulli haal...
Beberapa waktu lalu, saya sempat bingung menentukan bagaimana atau dengan apa kakak belajar. Yaa gara-gara susah sinyal tadi, hehe. Tambah lagi, tempat tinggal saya sekarang jauh dari pusat kota. Jauh dari tempat yang menyediakan sarana prasarana belajar lengkap semacam perpustakaan, toko buku, tower, nah lho balik lagi...
Kemudian saya memutuskan untuk mencari tahu, si Kakak ini memiliki gaya belajar apa. Mengingat keaktifannya, saya rasa ia memiliki gaya belajar kinestetik. Tapi kalau mengingat ketekunannya menggambar, atau memperhatikan detil gambar pada buku yang dibacanya, saya rasa ia juga termasuk pebelajar visual.
Bagi saya, mengetahui gaya belajar anak adalah hal penting. Karena pengetahuan itu akan menjadi modal bagi saya dalam memberi stimulus, dan memberi saya ruang untuk menerima kekurangan dan kesulitannya.
Misalnya, anak visual cenderung mudah menangkap ekspresi daripada bunyi. Karena itu, akan lebih efektif untuk berkomunikasi dengannya dengan cara tatap muka dan kontak mata daripada sekedar berteriak dari jauh. Di sisi lain, saya tidak boleh lantas marah ketika omongan saya ditanggapi sepintas lalu karena saya juga ngomong selintas lalu. Sebagai gantinya, saya memangkunya sambil mengusap kepalanya dan menyampaikan maksud saya secara pelan.
Nah, enak kan, kalau bisa memahami gaya belajar dan cara belajar anak? Anak senang, ibu tenang... kurang lebih begitu, hehe

Kamis, 18 Agustus 2016

Ketika Ibu 'Keluar' Rumah

Baik ibu saya maupun ibu mertua, keduanya adalah working mom. Bekerja di pabrik sejak usia belia, bertemu pasangan di tempat bekerja hingga berumah tangga, bahkan sampai beranak cucu. Bangun paling awal, tidur paling akhir, menyelesaikan seluruh pekerjaan
tangga termasuk menemani anak belajar dan bermain ketika tidak ada shift pabrik. Saya mendapat banyak teladan dari beliau berdua. Terutama dalam sikap bekerja keras dan semangat pantang menyerah.
Namun, begitu saya melirik dunia pernikahan, ternyata saya sama sekali tidak berminat dengan dunia kerja di luar rumah. Saya hanya menerima tawaran mengajar privat dari kiri kanan maupun sesekali _ngulik_ flanel sebagai hobi.
Sikap ini berlanjut hingga saya menikah dan memiliki anak. Merasakan nikmatnya kehidupan sebagai istri dan ibu, membuat saya betah 'menganggur'. Suami juga mendukung sikap yang saya ambil untuk menjadi _fulltime mom_.
Hingga suatu hari, seorang teman suami menawarkan pekerjaan untuk mengajar di salah satu pondok pesantren di dekat rumah. Pondok tersebut sebelumnya adalah pondok tahfidz, namun mulai tahun ini beberapa mata pelajaran umum ditambahkan agar santri-santrinya dapat mengikuti ujian penyetaraan.
Karena sepertinya mendesak, jadilah saya iyakan tawaran tersebut diiringi anggukan suami.
Meski hanya mendapat jadwal tiga jam sepekan, saya tetap merasa cemas dan pusing dengan situasi baru ini. Jadwal saya bertepatan dengan jadwal kerja suami. Di pondok belum ada penitipan anak. Sebagai gantinya ada PAUD di mana anak pengajar bisa 'numpang' di sana. Tapi kakak yang usianya 3 tahun, belum siap masuk PAUD apalagi belum ada anak yang dikenalnya. Setidaknya dia perlu saya dampingi selama masa orientasi, sedangkan saya tidak diberi waktu tenggang. Esok saya sudah harus mengajar. Akhirnya, mau tidak mau, saya pun memutuskn untuk mengajar sambil membawa dua balita saya. Alhamdulillaah pondok memberi kelonggaran.
Tantangan selanjutnya adalah sounding. Kedua balita saya termasuk aktif dan sesekali tantrum. Terutama si sulung, perasaannya halus namun kemauannya keras. Mudah sekali untuk tantrum terutama di lingkungan di mana gerak dan keinginannya dibatasi aturan. 
Akhirnya, di waktu yang sedikit tersisa, saya dan suami terus memahamkannya dengan kegiatan baru bernama 'mengajar di sekolah'.
Persiapan tempur lain adalah ransum dan pengalih perhatian. Bekal makanan yang disukai anak-anak saya siapkan dari pagi. Yang namanya balita makan sendiri pasti menyalahi table manner. Karena itu perangkat kebersihan juga harus disediakan: satu pack tissue dan plastik kresek pun masuk tas. Pengalih perhatian adalah mainan atau perlengkapan gambar untuk kakak. Tak lupa, masing-masing satu set baju ganti kalau-kalau ada kejadian tak terduga semisal jatuh atau menumpahkan makanan.
Nah, selesai. Persiapan satu jam mengajar ternyata tetap sama dengan persiapan piknik seharian, atau keperluan menginap sehari semalam. Haha.
Apakah selesai sampai di sini? Ternyata belum. Bagaimanapun, balita punya unlimited independencies kalau saya bilang. Meski makanan favorit sudah terhidang, mainan kesukaan ada di tangan, tidak ada yang bisa mencegah atau melarang balita untuk tantrum. Pada akhirnya kakak tetap tantrum, dan si kecil Himaa rewel karena sudah masuk jam tidur. Tak lupa, Himaa mendapat ciuman manis di lantai kelas saat berusaha memanjat meja. Keningnya benjol dan membiru. Jadi, pada jam pertama yang lamanya 60 menit itu, saya harus keluar sepuluh menit sebelum bel pelajaran usai berbunyi. Subhaanalláh...
Memang luar biasa menjadi seorang ibu. Selalu dan selalu harus belajar setiap waktu.
Trus, solusinya apa dong? Agar lancar ngajar dan anak tak terabaikan?
Emm... sementara ini opsi terbaik adalah berdoa. Ya, berdoa...agar Allah Memberi saya kebaikan dalam setiap situasi. Jika segala sesuatunya berjalan sesuai harapan, semoga Allah Memudahkan saya bersyukur. Jika yang terjadi jauh dari kesesuaian dengan angan, semoga Allah Memampukan hati ringkih kami untuk bersabar dan mengokohkan raga rapuh kami untuk bersabar dari segala ekspresi marah yang dapat menyakiti buah hati kami. Aamiin


Kamis, 11 Agustus 2016

Di Sadeng, Hatiku Berlabuh




Mudik selalu menjadi momen yang saya nanti setiap tahun. Karena hanya di momen itulah saya bisa bertemu Bapak dan Emak dalam waktu lama.

Di sisi lain, mudik adalah saat untuk rekreasi di pantai. Pantai di kampung saya cukup banyak. Masih alami, dan belum terjamah khalayak umum. Jarak tempuhnya juga dekat, dua puluh menit jalan kaki. Medan yang dilalui masih alami. Jalan setapak berupa batuan gunung, dikelilingi ladang dan tanaman liar. Benar-benar membuai mata dan hati. Hmm... so lovely.

Sayangnya, mudik kali ini pantai surut di waktu petang. Tentu saja tidak nyaman berjalan kaki di medan terjal, dengan mengajak dua balita. Dan tentu saja objek pemandangan sangat minim. Karena itulah, kami memilih mengunjungi pantai Sadeng. Pantai yang difungsikan sebagai pelabuhan di kampung saya. Meski keindahannya jauh berkurang dibanding dulu ketika masih alami, Pantai Sadeng tetap menarik pengunjung dari berbagai daerah. Terutama bagi penggemar seafood, aneka binatang laut tersedia di TPI (Tempat Pelelangan Ikan), dan tentunya masih segar karena baru diangkat dari laut oleh nelayan setempat.





Dan ternyata, abi memiliki kenangan di pantai ini. Usut punya usut, semasa bujang dulu abi pernah berkunjung ke pantai ini. Duduk di ujung dermaga sambil merenung dan memanjatkan doa, 'Ya Alláh, pilihkanlah jodohku wanita shalihah dari kampung dimana panrai ini berada.'

Dan MaasyaaAllah... doa pemuda galau sepertinya makbul, hehe. Meski saya tak pernah bertemu abi sekalipun, ternyata Allah Memilihkan beliau menjadi pendamping hidup beliau saat ini. Alhamdulilláh...

Dan bagi putra kami, tempat ini tentunya menyediakan wahana belajar baru: laut, pasir putih, ombak, dan perahu tentunya. Semoga kami seluruh pengunjung mampu menjaga kebaikan dan kearifan di tempat ini. Sehingga terjaga keindahannya dan orang lainpun bisa turut merasakan kenyamanan sebagaimana yang kami rasakan. Aamiin

Jumat, 29 Juli 2016

Start and Stop isn't Easy!!

Adakah yang seperti saya? Sulit memulai maupun mengakhiri?

Ibarat menulis, ada draft yang disusun, konsep, muatan, pesan...semua dirancang. Kapan nulisnya...?

Begitu asik nulis...cerpen misalnya. Meski sudah mengikuti draft, meski sudah menentukan bagaimana endingnya, teteeeep saja rasanya tak kunjung selesai. Bahkan nyaris menjadi novel.

Hmm, dilema tipe phlegmatis mungkin. Iyakah?





Meski saya akui sulit memulai maupun mengakhiri suatu aktivitas atau karya, saya pun mengakui ada satu sebab dan satu kunci solusi.

Penyebabnya adalah inkonsistensi. Dan solusinya adalah istiqomah.

Inkonsistensi dapat terjadi karena faktor kemalasan. Kemalasan mengakibatkan terjadinya penundaan satu aktivitas, yang berujung pada terbengkalainya target lain. Meski ada jadwal, inkonsistensi membuat seseorang dengan mudahnya abai pada jadwal dan mengatakan,"Nanti dulu, ah...".
Karena itulah, solusi yang bisa diterapkan adalah istiqomah. Sedikit namun berkesinambungan.

Jadi, mari kembali berkarya. Susun jadwal, atur skala prioritas, dan kerjakan satu-satu. Apakah satu dulu sampai selesai baru berpindah pada aktivitas lain?

Bagi orang lain mungkin iya, tapi tidak bagi saya. Rentang fokus saya cukup pendek. Jadi yang saya lakukan adalah beristirahat dari satu aktivitas dengan mengerjakan aktivitas lain.

Wah, bukannya malah tak terselesaikan semua tuh??
Iya, kalau saya mandeg. Karena itulah, just do it. Hehe...

Rabu, 27 Juli 2016

Saat Tangan Abi Dicakar si Pung

Kak Husaam memanggilnya 'Pung'. Karena adik Himaayah selalu berseru "Pung! Pung!" saat kucing kecil itu berkunjung ke rumah kami.
Pung termasuk kucing pemalu. Dia sering datang ke rumah pada jam makan. Dan kami memberinya makan di tempat yang agak jauh dari tempat kami duduk.
Akhir-akhir ini, kucing kecil tersebut mulai membuka diri. Mulai memperpendek jarak terhadap kami, namun tetap belum bisa kami sentuh. Seringkali si Pung bahkan tidur di kasur anak-anak.
Sama halnya pagi itu, si Pung bergelung nyaman di kasur ruang tengah, di tempat yang bermandikan sinar mentari pagi. Abi yang baru saja masuk rumah selepas berkebun, sambil menggendong Himaa, berjingkat mendekati si Pung dengan maksud mengangkat kucing kecil itu.
Namun rupanya, si Pung masih sangat sensitif. Segera saja ia meloncat kaget begitu tangan abi menyentuh punggungnya. Kaki belakangnya terayun, dan cakarnya menimbulkan luka memanjang di tangan abi. Abi hanya menenangkan anak-anak dan mengatakan bahwa si Pung belum bisa dibelai karena masih takut pada manusia.
Kak Husaam, yang melihat bagaimana tangan abinya terluka, datang mendekat.
"Mana yang sakit Bi?"
Abi menunjukkan luka di tangan yang mengeluarkan darah.
"Ndak papa ya, Bi. Nanti dikasih minyak zaitun trus insyaaAllah disembuhkan Allah ya, Bi? Allahummasyfiik Bi...", ujarnya bijak sembari meniup-niup tangan abinya.

Saya tersenyum penuh haru. Dan menyampaikan tekad dalam hati, untuk tidak lelah menyampaikan nilai kebaikan berulang-ulang. Karena saya melihat, bahwa anak-anak sangat cerdas. Dan mampu menginternalisasi nilai yang mereka peroleh dari orang tua merka.
Baarakallah fiikumaa... Huhu, Hihi...

Selasa, 08 Maret 2016

A untuk Aku

Husaam sedang belajar mengenal huruf 'A' dan 'a'. Sedikit bergeser dari rencana awal untuk tidak mengenalkan huruf sebelum bisa membaca per suku kata. Saya pikir, ini hanya perkenalan tanpa bermaksud memintanya menghafal. Jadi (semoga) tidak akan berpengaruh negatif pada proses membacanya nanti.
Huruf 'A' saya kenalkan melalui aktivitas menyulam menggunakan karton dan rafia.
Huruf 'a' saya kenalkan melalui aktivitas mengoleskan lem dan menaburkan garam hijau menutupi karton 'a'. Mulanya saya memberi contoh mengelem dan menabur garam.

Tapi Husaam punya caranya sendiri, dengan menuang garam ke mangkuk berisi lem kanji, mengaduknya, baru mengoleskan ke karton.

Donat Canai

Iya. Adonan donat saya bantat. Daripada nanti hasilnya pecah-pecah setelah digoreng, saya banting setir ke roti canai atau roti maryam atau roti konde.
Iya. Saya memang emoh rugi dan mubadzir.

Rasanya tetap enak meski saya lebih suka roti canai yang krispi kriuk krikkrik, hehe.

Jadi, jangan takut membuat donat.
Kalau bantat, sulap saja jadi roti canai, sobat...
Tetap nikmat dan hemat 🍩🍪

Selasa, 16 Februari 2016

Cat Air Homemade

Bahan:
⅓ cangkir tepung maizena (resep rujukan menggunakan ½ cangkir, tapi bagi saya terlalu kental)
2 cangkir air
3 sdm gula
½ sdm garam
Pewarna makanan (di tempat saya hanya ada warna kuning, merah, hijau)

Kombinasi warna yang dihasilkan dari pencampuran 3 warna di atas dengan perbandingan tertentu:
Merah+ kuning++= oranye
Hijau+merah+kuning++= cokelat muda
Hijau++merah+kuning+= cokelat tua

Rabu, 10 Februari 2016

Selepas BLW 6bulan

Tidak seperti Huhu yang tidak melalui fase oral, Hihi justru melalui fase oral yang sangat aktif. Di sisi lain, inisiatifnya dalam mengeksplorasi makanan juga tidak se-intens Huhu. Hihi cenderung berhati-hati memegang makanan yang disodorkan. Seringkali dia justru menyodorkan kepala sambil mangap alih-alih mengambil makanan dengan tangan. Padahal untuk benda non-makanan, Hihi terbilang aktif mengambil dan melahapnya. Bisa dibilang, Hihi hanya menjalankan separo BLW. Dia lebih sering disuapi daripada makan sendiri.
Apa saja yang sudah dimakan?
Biskuit O**o, wafer, kerupuk... ups!! Iya, makanan tersebut ilegal untuk bayi. Tapi apadaya, Huhu tidak bisa dilarang dan sering menyuapi adiknya dengan jajanan ketika tidak kami awasi😂😂.
Untuk makanan lain, tidak banyak yang bisa saya temukan di tukang sayur kampung. Jadi Hihi baru makan:
KARBO: nasi, ubi
SAYUR: wortel, kacang kapri, labu siam, buncis, terong, brokoli, bunga kol
BUAH: pepaya, alpukat, pisang, jambu biji, buah naga, salak (saya kunyahkan dulu), apel, pir
PROTEIN: tempe, tahu, ayam

Minggu, 24 Januari 2016

Schotel Macaroni Tahu

Saat sup hari ini tak tersentuh, ingin dibuang sayang, ingin dihabiskan enggan... Ini solusinya. Manfaatkan sayuran dalam sup untuk diolah menjadi Schotel Macaroni. Rasanya lebih 'wah' dan bentuknya berubah, semoga menggelitik nafsu makan keluarga tercinta untuk menikmatinya. Hmmm....

Brokus Huhu

Brokus Huhu itu maksudnya brownies kukus buatan Husaam.
Buatan Husaam? Seriuus? Toddler bisa membuat brownies? Yes, he did! Saking mudahnya resep ini, Husaam pun bisa membuatnya

Selasa, 12 Januari 2016

Krumpul Cinta

Krumpul adalah istilah lazim di daerah Solo, untuk menyebut sejenis roti basah yang 'bergerombol' dalam satu rumpun. Halah
Istilah lainnya adalah roti sobek 😀.

Ini trial pertama saya yang alhamdulillaah mengembang sempurna. Terimakasih kepada fermipan yang baru saja saya buka bungkusnya. Tapi tetap saja, trial selalu menggandeng eror di setiap eksperimen saya. Untuk isian, saya menggunakan cokelat bubuk tanpa saya mix dengan margarin dan gula. Jadilah ketika dibelah, sang cokelat tetap berwujud bubuk dengan rasa pahit. Apalagi, saya hanya menggunakan teflon untuk memanggang. Sehingga bagian atas roti kurang berwarna gelap.

At least, krumpul ini memberi saya tambahan motivasi di bidang per-baking-an.


Ah, si Pendekar selalu jadi 'cicip'-er pertama yang setia.