Kamis, 18 Agustus 2016

Ketika Ibu 'Keluar' Rumah

Baik ibu saya maupun ibu mertua, keduanya adalah working mom. Bekerja di pabrik sejak usia belia, bertemu pasangan di tempat bekerja hingga berumah tangga, bahkan sampai beranak cucu. Bangun paling awal, tidur paling akhir, menyelesaikan seluruh pekerjaan
tangga termasuk menemani anak belajar dan bermain ketika tidak ada shift pabrik. Saya mendapat banyak teladan dari beliau berdua. Terutama dalam sikap bekerja keras dan semangat pantang menyerah.
Namun, begitu saya melirik dunia pernikahan, ternyata saya sama sekali tidak berminat dengan dunia kerja di luar rumah. Saya hanya menerima tawaran mengajar privat dari kiri kanan maupun sesekali _ngulik_ flanel sebagai hobi.
Sikap ini berlanjut hingga saya menikah dan memiliki anak. Merasakan nikmatnya kehidupan sebagai istri dan ibu, membuat saya betah 'menganggur'. Suami juga mendukung sikap yang saya ambil untuk menjadi _fulltime mom_.
Hingga suatu hari, seorang teman suami menawarkan pekerjaan untuk mengajar di salah satu pondok pesantren di dekat rumah. Pondok tersebut sebelumnya adalah pondok tahfidz, namun mulai tahun ini beberapa mata pelajaran umum ditambahkan agar santri-santrinya dapat mengikuti ujian penyetaraan.
Karena sepertinya mendesak, jadilah saya iyakan tawaran tersebut diiringi anggukan suami.
Meski hanya mendapat jadwal tiga jam sepekan, saya tetap merasa cemas dan pusing dengan situasi baru ini. Jadwal saya bertepatan dengan jadwal kerja suami. Di pondok belum ada penitipan anak. Sebagai gantinya ada PAUD di mana anak pengajar bisa 'numpang' di sana. Tapi kakak yang usianya 3 tahun, belum siap masuk PAUD apalagi belum ada anak yang dikenalnya. Setidaknya dia perlu saya dampingi selama masa orientasi, sedangkan saya tidak diberi waktu tenggang. Esok saya sudah harus mengajar. Akhirnya, mau tidak mau, saya pun memutuskn untuk mengajar sambil membawa dua balita saya. Alhamdulillaah pondok memberi kelonggaran.
Tantangan selanjutnya adalah sounding. Kedua balita saya termasuk aktif dan sesekali tantrum. Terutama si sulung, perasaannya halus namun kemauannya keras. Mudah sekali untuk tantrum terutama di lingkungan di mana gerak dan keinginannya dibatasi aturan. 
Akhirnya, di waktu yang sedikit tersisa, saya dan suami terus memahamkannya dengan kegiatan baru bernama 'mengajar di sekolah'.
Persiapan tempur lain adalah ransum dan pengalih perhatian. Bekal makanan yang disukai anak-anak saya siapkan dari pagi. Yang namanya balita makan sendiri pasti menyalahi table manner. Karena itu perangkat kebersihan juga harus disediakan: satu pack tissue dan plastik kresek pun masuk tas. Pengalih perhatian adalah mainan atau perlengkapan gambar untuk kakak. Tak lupa, masing-masing satu set baju ganti kalau-kalau ada kejadian tak terduga semisal jatuh atau menumpahkan makanan.
Nah, selesai. Persiapan satu jam mengajar ternyata tetap sama dengan persiapan piknik seharian, atau keperluan menginap sehari semalam. Haha.
Apakah selesai sampai di sini? Ternyata belum. Bagaimanapun, balita punya unlimited independencies kalau saya bilang. Meski makanan favorit sudah terhidang, mainan kesukaan ada di tangan, tidak ada yang bisa mencegah atau melarang balita untuk tantrum. Pada akhirnya kakak tetap tantrum, dan si kecil Himaa rewel karena sudah masuk jam tidur. Tak lupa, Himaa mendapat ciuman manis di lantai kelas saat berusaha memanjat meja. Keningnya benjol dan membiru. Jadi, pada jam pertama yang lamanya 60 menit itu, saya harus keluar sepuluh menit sebelum bel pelajaran usai berbunyi. Subhaanalláh...
Memang luar biasa menjadi seorang ibu. Selalu dan selalu harus belajar setiap waktu.
Trus, solusinya apa dong? Agar lancar ngajar dan anak tak terabaikan?
Emm... sementara ini opsi terbaik adalah berdoa. Ya, berdoa...agar Allah Memberi saya kebaikan dalam setiap situasi. Jika segala sesuatunya berjalan sesuai harapan, semoga Allah Memudahkan saya bersyukur. Jika yang terjadi jauh dari kesesuaian dengan angan, semoga Allah Memampukan hati ringkih kami untuk bersabar dan mengokohkan raga rapuh kami untuk bersabar dari segala ekspresi marah yang dapat menyakiti buah hati kami. Aamiin


0 komentar:

Posting Komentar