Sabtu, 20 Agustus 2016

Imperfect Makes Human Human

Manusia memang seperti itu. Sempurna dengan segala ketidaksempurnaannya.
Ada yang sulit meminta maaf meski melakukan kesalahan besar. Tak bisa karena tak biasa. Atau karena memang tak merasa salah.
Di sisi lain, ada yang mudah meminta maaf. Seolah minta maaf ibarat sendawa setiap kenyang setelah makan. Kurang penjiwaan, sehingga kesalahan terus berulang.

Demikian halnya kita. Saya.
Saya tumbuh besar dalam keluarga yang mahal apresiasi. Ungkapan 'maaf' atau 'terima kasih' jarang terlantun. Di kemudian hari, terutama setelah menikah, saya menyadari bahwa kedua ungkapan tadi begitu bermakna bagi saya terutama. Permintaan 'maaf' menutup luka, dan 'terima kasih' memupuk cinta. MaasyaaAllaah...

Tantangan lebih besar hadir ketika saya menjadi ibu. Ketika saya menyadari, bahwa ada waktu di mana kata 'maaf' dan 'terima kasih' menjadi rumit.

Mengapa rumit? Karena orang tua adalah teladan bagi anak. Dengan mengucapkan 'maaf' dan 'terima kasih' sembari menyampaikan alasan mengapa kedua kata itu diucapkan, anak akan memahami kegunaan kedua kata tersebut dan mengaplikasikannya di saat ia membutuhkan. 
Mengapa masih rumit? Karena anak punya kehendak sendiri. Di mana ia merasa tidak berbuat salah sehingga merasa tidak perlu meminta maaf. Atau merasa tak mendapat 'profit' yang membuatnya perlu berterima kasih. Anak memiliki cara pandang yang berbeda dengan orang tua.
Dan mengapa terlalu rumit? Karena orang tua tidak sempurna sebagaimana halnya anak-anak mereka. Ketika orang tua kemudian menuntut anaknya meminta maaf atau berterima kasih secara paksa, anak akan merasa tidak nyaman. Dan membuat kedua ungkapan tersebut dihindarinya. Padahal bisa jadi, orang tua menuntut demikian hanya lantaran malu dengan omongan orang. Malu, jika dianggap tidak mampu mengajarkan nilai moral pada anak. Malu, jika tetangga mengatakan hal-hal negatif tentang anak. 

Yah...itulah ketidaksempurnaan manusia yang memanusiakannya. Itulah orang tua, yang meskipun pernah mengalami masa menjadi anak, tapi tidak lantas membuat kita memahami keinginan dan kebutuhan anak. Sekalipun kita mengerti, ada tuntutan wewenang dan kewajiban sebagai orang dewasa yang lantas membuat kita menetapkan aturan-aturan yang mungkin tidak disukai anak.
Dan di sinilah letak pentingnya belajar berkesinambungan sebagai orang tua. Agar kita tahu bagaimana mengarahkan anak. Membuat anak bersikap sesuai harapan, meski belum memahami esensinya. Agar kita tahu bagaimana segala sesuatu bekerja. Bukan dengn memaksa, namun mengarahkan mengikuti kebutuhan perkembangannya.

Bagaimanpun, manusia hanya wajib berusaha memperbaiki diri. Dan berdoa, agar Allah Menjadikan diri kita lebih baik.


Happy imperfect parent!!

0 komentar:

Posting Komentar