Rasa syukur mendalam, hati yang meletup-letup, rasa yang hangat penuh nikmat.
"Maafin kakak ya, dhek... sudah marah-marahin adek," polos suara si Sulung dalam rengkuhan lengan kiriku. Di lengan kanan, si adik mengangguk-angguk kala jemariku menyasar gemas pipinya yang penuh.
"Kakak tadi marahin adek?", tanyaku.
"He'em," jawabnya lugas, "tadi lho..."
Dan si sulung menceritakan ulang, bersamaan memoriku menjamah kejadian tadi siang.
Aku yang terbaring di kasur, semu-nya ingin tidur atau sebatas merem demi mengganti jam malam yang tergadai di depan laptop. Dan duo-H kembali dari bermain yang singkatyang kusyukuri karena aku tak bisa mendampingidengan tangan dan baju berselimut pasir.
Huhu, si sulung, segera berganti baju dan bebersih sebisanya. Namun Hihi, gadisku yang perkasa, datang menemuiku dengan wajah bulat terpanggang mentari, berbedak pasir di sana-sini.
Aku pun melempar tanggung jawab,"Kakak... tolong bantu adik cuci tangan dan kaki."
Huhu pun dengan ringannya menggandeng adiknya, yang juga menurut begitu saja dengan rukunnya.
Hingga tak lama berselang, jeritan khas si sulung menggema. Diikuti jeritan adiknya yang kemudian menggelegarkan tangis.
Tergopoh, sambil menyesuaikan pandang yang gelap-terang, kususul ke kamar mandi. Huhu bergegas keluar, lari ke kamar dan membanting-tutup pintu. Segera kutenangkan Hihi yang kuyup dari pucuk kepala.
Rupanya Huhu marah karena adiknya ngeyel mencelupkan tangan ke ember air. Dia ingin menyiram tangan adiknya, agar ember dan isinya tak ikut kotor. Karena tak tahan, disiramlah si adik dari kepala... dan seterusnya.
Alhamdulillaah, bisa kutahan lisan yang biasanya kacau ini dari tuduhan dan suara keras.
"Oh... adik tadi mau masukkan tangan ke ember ya, Kak?" Tanyaku di luar pintu kamarnya.
"He'em," pintu terbuka diikuti wajah balitaku yang berkerut-kerut jengkel, "nanti airnya ikut kotor." ulangnya mengikuti 'doktrin'ku selama ini. Dan sayangnya aku lupađ, apakah aku sudah berterima kasih pada Huhu atas upayanya membantuku. Ataukah mengucap maaf karena 'merepotkannya' dengan keperluan si batita.
Dan di sinilah aku sekarang. Mendengarnya mengulas maaf pada adiknya yang belum sempurna pemahamannya. Memeluknya dengan segudang terima kasih dan maaf yang bahkan tak sanggup kusuarakan.
"Maaf," aku bersyukur telah memaksa diri dan suami mengucapkannya kala kami memang bersalah pada anak. Dengan menggigit bibir, dengan menekan rasa, karna nyatanya ego kami sebagai orang tua 'yang ingin selalu dibenarkan' cukup kuat bertahta.
Aku bersyukur, karena maaf yang tak seberapa tulus itu ternyata dicontohnya juga. Oleh pendekar cilik-ku yang belum lulus balita.
Ya Allah... mudahkanlah kami berbuat baik. Yang dengannya menjadi teladan yang layak bagi putra-putri yang kami _gadang_ menjadi pewaris penegakan dienMu. Aamiin...
"Maafin kakak ya, dhek... sudah marah-marahin adek," polos suara si Sulung dalam rengkuhan lengan kiriku. Di lengan kanan, si adik mengangguk-angguk kala jemariku menyasar gemas pipinya yang penuh.
"Kakak tadi marahin adek?", tanyaku.
"He'em," jawabnya lugas, "tadi lho..."
Dan si sulung menceritakan ulang, bersamaan memoriku menjamah kejadian tadi siang.
Aku yang terbaring di kasur, semu-nya ingin tidur atau sebatas merem demi mengganti jam malam yang tergadai di depan laptop. Dan duo-H kembali dari bermain yang singkat
Huhu, si sulung, segera berganti baju dan bebersih sebisanya. Namun Hihi, gadisku yang perkasa, datang menemuiku dengan wajah bulat terpanggang mentari, berbedak pasir di sana-sini.
Aku pun melempar tanggung jawab,"Kakak... tolong bantu adik cuci tangan dan kaki."
Huhu pun dengan ringannya menggandeng adiknya, yang juga menurut begitu saja dengan rukunnya.
Hingga tak lama berselang, jeritan khas si sulung menggema. Diikuti jeritan adiknya yang kemudian menggelegarkan tangis.
Tergopoh, sambil menyesuaikan pandang yang gelap-terang, kususul ke kamar mandi. Huhu bergegas keluar, lari ke kamar dan membanting-tutup pintu. Segera kutenangkan Hihi yang kuyup dari pucuk kepala.
Rupanya Huhu marah karena adiknya ngeyel mencelupkan tangan ke ember air. Dia ingin menyiram tangan adiknya, agar ember dan isinya tak ikut kotor. Karena tak tahan, disiramlah si adik dari kepala... dan seterusnya.
Alhamdulillaah, bisa kutahan lisan yang biasanya kacau ini dari tuduhan dan suara keras.
"Oh... adik tadi mau masukkan tangan ke ember ya, Kak?" Tanyaku di luar pintu kamarnya.
"He'em," pintu terbuka diikuti wajah balitaku yang berkerut-kerut jengkel, "nanti airnya ikut kotor." ulangnya mengikuti 'doktrin'ku selama ini. Dan sayangnya aku lupađ, apakah aku sudah berterima kasih pada Huhu atas upayanya membantuku. Ataukah mengucap maaf karena 'merepotkannya' dengan keperluan si batita.
Dan di sinilah aku sekarang. Mendengarnya mengulas maaf pada adiknya yang belum sempurna pemahamannya. Memeluknya dengan segudang terima kasih dan maaf yang bahkan tak sanggup kusuarakan.
"Maaf," aku bersyukur telah memaksa diri dan suami mengucapkannya kala kami memang bersalah pada anak. Dengan menggigit bibir, dengan menekan rasa, karna nyatanya ego kami sebagai orang tua 'yang ingin selalu dibenarkan' cukup kuat bertahta.
Aku bersyukur, karena maaf yang tak seberapa tulus itu ternyata dicontohnya juga. Oleh pendekar cilik-ku yang belum lulus balita.
Ya Allah... mudahkanlah kami berbuat baik. Yang dengannya menjadi teladan yang layak bagi putra-putri yang kami _gadang_ menjadi pewaris penegakan dienMu. Aamiin...